PERATURAN DAERAH .........................
NOMOR TAHUN
TENTANG
PAJAK DAERAH
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
|
a. bahwa dalam
rangka pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab di ........................,
perlu dilakukan penyesuaian dan pengaturan kembali Pajak-Pajak Daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
|
|
b.
bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur kembali
mengenai pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah serta memungkinkan
untuk menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah;
|
|
c.
bahwa untuk melaksanakan penyesuaian sebagaimana
huruf b, perlu pengaturan kembali tentang Pajak-Pajak Daerah ..................
dengan suatu Peraturan Daerah .........................
|
Mengingat
:
|
a.
Undang-Undang Nomor ................... tentang
Pembentukan Daerah .....................................................
|
|
b.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
|
|
c.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
40 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3684);
|
|
d.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686);
|
|
e.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 2003 Nomor
47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
|
|
f.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
|
|
g.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
|
|
h.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
|
|
i.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
|
|
j.
PP tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah
|
|
k.
PP tentang Insentif Pajak
|
|
l.
...................
|
|
m. ....................
|
|
n.
......................
|
|
o.
.......................
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH ……………………………..
dan
………………………..
MEMUTUSKAN:
|
Menetapkan :
|
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH.
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
|
|
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1.
Daerah
adalah ....................................
2.
Pemerintah Daerah
adalah Pemerintah ..............................
3.
Bupati/Walikota
adalah ..............................
4.
Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah adalah Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah ....................
5.
Kepala Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah adalah Kepala Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah ..................................
6.
Badan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu ..................................
7.
Kas Daerah
adalah Kas Daerah ...............................
8.
Badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang meliputi
Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha
Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun Firma, Kongsi,
Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Massa,
Organisasi Sosial Politik atau Organisasi yang sejenis, Lembaga, Badan Usaha
Tetap dan Bentuk Badan Lainnya.
9.
Pejabat
adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di Bidang Perpajakan Daerah sesuai
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
10.
Pajak
Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
11.
Badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN),
atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.
12.
Nilai Jual
Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang
diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana
tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan
harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP
pengganti.
13.
Subjek Pajak
adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
14.
Wajib Pajak
adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
15.
Masa Pajak
adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang
diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender,
yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terutang.
16.
Tahun Pajak
adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib
Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
17.
Pajak yang
terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak,
dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
18.
Pemungutan
adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek
pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang
sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib
Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
19.
Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat
yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
20.
Surat
Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah surat yang digunakan oleh
wajib pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan
perdesaan dan perkotaan sesuai denagn ketentuan Peraturan Perundang –
undangan Perpajakan Daerah.
21.
Surat
Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan
formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
22.
Surat
Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
23.
Surat
Pamberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat
yang digunakan untuk memberitahuan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan
dan perkotaan yang terutang kepada wajib pajak.
24.
Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB,
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,
jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya
sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
25.
Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat
SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan.
26.
Surat
Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
27.
Surat
Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
seharusnya tidak terutang.
28.
Surat
Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau
denda.
29.
Surat
Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau
Surat Keputusan Keberatan.
30.
Surat
Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
31.
Putusan
Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
32.
Pembukuan
adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan
barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca
dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
33.
Pemeriksaan
adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan
suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan daerah dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan
retribusi daerah.
34.
Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan
daerah dan retribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
|
|
|
|
BAB II
PAJAK HOTEL
Bagian Pertama
Ketentuan Khusus
Pasal 2
(1)
Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan
yang disediakan oleh hotel.
(2)
Hotel adalah fasilitas penyedia jasa
penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut
bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata,
pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah
kamar lebih dari 10 (sepuluh).
Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
Pasal 3
(1)
Dengan nama Pajak Hotel dipungut pajak
atas setiap pelayanan hotel.
(2)
Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang
disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai
kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk
fasilitas olahraga dan hiburan.
(3)
Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi,
pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang
disediakan atau dikelola Hotel.
(4)
Tidak termasuk objek Pajak Hotel
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
jasa tempat tinggal asrama yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
b.
jasa sewa apartemen,
kondominium, dan sejenisnya;
c.
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau
kegiatan keagamaan;
d.
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama
perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
dan
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata
yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.
Pasal 4
(1) Subjek
Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada
orang pribadi atau Badan
yang mengusahakan Hotel.
(2) Wajib
Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif
Pasal 5
Dasar
pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
kepada Hotel.
Pasal 6
Tarif
Pajak Hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 7
Besaran
pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
|
|
|
|
BAB III
PAJAK RESTORAN
Bagian Pertama
Ketentuan Khusus
Pasal 8
(1) Pajak
Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
(2) Restoran
adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran,
yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan
sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib
Pajak
Pasal 9
(1) Dengan
nama Pajak Restoran dipungut pajak atas setiap pelayanan restoran.
(2) Objek
Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran.
(3) Pelayanan
yang disediakan Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik
dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain.
(4)
Tidak termasuk objek Pajak Restoran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan yang disediakan oleh
Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi Rp............. /tahun atau
Rp............./ bulan.
Pasal
10
(1)
Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi
atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran.
(2)
Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi
atau Badan yang mengusahakan Restoran.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif
Pasal 11
Dasar
pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang
seharusnya diterima Restoran.
Pasal 12
Tarif Pajak Restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 13
Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
|
|
|
|
BAB IV
PAJAK HIBURAN
Bagian Pertama
Ketentuan Khusus
Pasal 14
(1) Pajak
Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
(2) Hiburan
adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang
dinikmati dengan dipungut bayaran.
Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
Pasal 15
(1)
Dengan nama Pajak Hiburan dipungut pajak
atas setiap penyelenggaran hiburan.
(2)
Objek Pajak Hiburan adalah jasa
penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran.
(3) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
tontonan film;
b.
pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c.
kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d.
pameran;
e.
diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f.
sirkus, akrobat, dan sulap;
g.
permainan bilyar, golf, dan boling;
h.
pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i.
panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan
j.
pertandingan olahraga.
Pasal 16
(1) Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati
Hiburan.
(2)
Wajib Pajak Hiburan
adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Hiburan.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif
Pasal 17
(1) Dasar
pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya
diterima oleh penyelenggara Hiburan.
(2)
Jumlah uang yang seharusnya diterima
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket
cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan.
Pasal 18
(1)
Tarif Pajak Hiburan untuk jenis
pertunjukan dan keramaian umum yang menggunakan sarana film di bioskop
ditetapkan sebagai berikut:
a.
Golongan AI sebesar 35% (tiga puluh lima persen);
b.
Golongan AII sebesar 35% (tiga puluh lima
persen);
c.
Golongan AIII sebesar 25% (dua puluh lima persen);
d.
Golongan B sebesar 20% (dua pulh persen);
e.
Golongan C sebesar 15% (lima belas persen);
f.
Golongan D sebesar 10% (sepuluh persen);
g.
Jenis keliling sebesar 5% (lima persen).
(2)
Tarif Pajak Hiburan khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana,
kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan,
panti pijat, dan mandi uap/spa,
ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
(3)
Tarif Pajak Hiburan khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional
ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 19
Besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dengan dasar pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
|
|
|
|
BAB V
PAJAK REKLAME
Bagian Pertama
Ketentuan Khusus
Pasal 20
(1) Pajak
Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
(2) Reklame
adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya
dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan,
atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan,
yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh
umum.
Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
Pasal 21
(1) Dengan
nama Pajak Reklame dipungut pajak atas setiap penyelenggaran reklame.
(2) Objek
Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(3) Objek
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Reklame papan/billboard/videotron/megatron
dan sejenisnya;
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat, stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame suara;
i. Reklame film/slide; dan
j.
Reklame peragaan.
(4)
Tidak
termasuk
sebagai objek Pajak Reklame adalah:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi,
radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang
diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang
dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan
sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi
tersebut;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah.
Pasal 22
(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan
Reklame.
(2)
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
(3)
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri secara
langsung oleh orang pribadi atau Badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang
pribadi atau Badan tersebut.
(4)
Dalam hal Reklame diselenggarakan melalui pihak
ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif
Pasal 23
(1) Dasar
pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai
Sewa
Reklame.
(2) Dalam
hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam
hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang
digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah,
dan ukuran media Reklame.
(4) Dalam
hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui
dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan
menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Hasil
perhitungan Nilai
Sewa
Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan ....................
Pasal
24
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebagai berikut:
a.
Reklame papan/billboard/micoframe/megatron dan sejenisnya ditetapkan sebesar
10% (sepuluh persen);
b.
Reklame lain ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen);
c.
Reklame melekat (stiker) ditetapkan
sebesar 5% (lima persen);
d.
Reklame selebaran ditetapkan sebesar 5%
(lima persen);
e.
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan
ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen);
f.
Reklame udara ditetapkan sebesar 20% (dua
puluh persen);
g.
Reklame suara ditetapkan sebesar 20% (dua
puluh persen);
h.
Reklame film/slide ditetapkan sebesar 15%
(lima belas persen);
i.
Reklame peragaan ditetapkan sebesar
15% (lima belas persen).
Pasal
25
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5).
|
|
|
|
BAB VI
PAJAK PENERANGAN JALAN
Bagian Pertama
Ketentuan Khusus
Pasal 26
Pajak Penerangan Jalan adalah
pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun
diperoleh dari sumber lain.
Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
Pasal 27
(1) Dengan
nama Pajak Penerangan Jalan dipungut pajak atas penggunaan tenaga listrik.
(2) Objek
Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan
sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
(3) Listrik
yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh
pembangkit listrik.
(4) Listrik
yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah PLN
dan penyedia tenaga listrik lainnya.
(5) Dikecualikan
dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat
yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing dengan asas
timbal balik;
c. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan
sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi
teknis terkait.
Pasal 28
(1) Subjek
Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat
menggunakan tenaga listrik.
(2) Wajib
Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan
tenaga listrik.
(3) Dalam
hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah
penyedia tenaga listrik.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif
Pasal 29
(1)
Dasar
pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.
(2)
Nilai
Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:
a.
dalam hal
tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga
Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya
pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;
b.
dalam hal tenaga listrik
dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas
tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah ...........................
(3)
Harga
satuan Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh ...........
dengan berpedoman harga satuan listrik yang berlaku.
Pasal 30
(1)
Tarif
Pajak Penerangan Jalan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2)
Tarif
Pajak Penerangan Jalan untuk penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh
industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga
persen).
(3)
Tarif
Pajak Penerangan Jalan untuk penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan
sendiri ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
Pasal
31
(1)
Besaran
pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
(2) Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian
dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.
|
|
|
|
BAB VII
PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN
Bagian Pertama
Ketentuan Khusus
Pasal 32
(1) Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral
bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan
bumi untuk dimanfaatkan.
(2) Mineral
Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana
dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak
Pasal 33
(1) Dengan
nama Pajak Mineral Bukan Logam dan batuan dipungut pajak atas setiap kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan.
(2) Objek
Pajak Mineral Dengan nama Pajak Mineral Bukan Logam dan batuan dipungut pajak
atas setiap kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan.dan Batuan
adalah kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang meliputi:
a.
asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. opsidien;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. phospat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatome;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosif;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. trakkit; dan
kk.
Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3)
Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
kegiatan
pengambilan Mineral Bukan
Logam dan Batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara komersial,
seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan
tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa
air/gas;
b.
kegiatan
pengambilan Mineral Bukan
Logam dan Batuan yang merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan
lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial.
Pasal 34
(1)
Subjek
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang
dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(2) Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang
pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif
Pasal 35
(1) Dasar
pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual Hasil
Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(2) Nilai
jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan
volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar
masing-masing jenis Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(3) Nilai
pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada masing-masing jenis Mineral
Bukan Logam dan Batuan ditetapkan secara periodic berdasarkan Keputusan .................
sesuai dengan harga rata-rata yang berlaku pada lokasi setempat.
Pasal 36
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
Pasal 37
Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (1).
|
|
|
BAB
VIII
PAJAK PARKIR
Bagian Pertama
Ketentuan Khusus
Pasal 38
(1) Pajak
Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan
sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
(2) Parkir
adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek,
dan Wajib Pajak
Pasal 39
(1) Dengan
nama Pajak Parkir dipungut pajak atas penyelenggaraan tempat parkir.
(2) Objek
Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik
yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
(3) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah:
a.
penyelenggaraan
tempat parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b.
penyelenggaraan
tempat parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
c.
penyelenggaraan tempat
parkir oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal
balik.
Pasal 40
(1) Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang
melakukan parkir kendaraan bermotor.
(2) Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang
menyelenggarakan tempat parkir.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif
Pasal 41
(1) Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran
atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir.
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) termasuk potongan harga parkir dan parkir cuma-cuma yang diberikan
kepada penerima jasa parkir.
Pasal 42
Tarif Pajak Parkir ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen).
Pasal 43
Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dengan dasar pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
BAB
IX
PAJAK AIR TANAH
Bagian Pertama
Ketentuan Khusus
Pasal 44
(1) Pajak
Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Air
Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek,
dan Wajib Pajak
Pasal 45
(1) Dengan nama Pajak Air Tanah dipungut pajak atas
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Objek
Pajak Air Tanah adalah pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(3) Tidak termasuk objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan
pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan.
Pasal 46
(1) Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan
yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan
yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif
Pasal 47
(1) Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan
Air Tanah.
(2) Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian
atau seluruh faktor-faktor berikut:
a.
jenis sumber air;
b.
lokasi sumber air;
c.
tujuan
pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d.
volume
air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e.
kualitas air; dan
f.
tingkat kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(3) Besarnya
Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan ………………….
Pasal 48
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh
persen).
Pasal 49
Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
BAB
X
PAJAK SARANG BURUNG WALET
Bagian Pertama
Ketentuan Khusus
Pasal 50
(1) Pajak
Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan
sarang burung walet.
(2) Burung
Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia,
yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek,
dan Wajib Pajak
Pasal 51
(1) Dengan nama Pajak Sarang Burung Walet
dipungut pajak atas pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
(2) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah
pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
(3) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pasal 52
(1)
Subjek
Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
(2)
Wajib
Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif
Pasal 53
(1)
Dasar
pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung Walet.
(2)
Nilai
Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet dengan volume Sarang
Burung Walet.
Pasal 54
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen).
Pasal 55
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana di maksud dalam Pasal 54
dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.
BAB
XI
PAJAK BUMI DAN BANGUNGAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
Bagian Pertama
Ketentuan Khusus
Pasal 56
(1) Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau
bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambagan.
(2) Bumi
adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut
wilayah kabupaten/kota.
(3) Bangunan
adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan pedalaman dan/atau laut.
Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek,
dan Wajib Pajak
Pasal 57
(1) Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan dipungut
pajak atas kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan bumi dan/atau
bangunan.
(2) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan/atau pertambangan.
(3) Termasuk dalam pengertian bangunan
adalah:
a. jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel,
pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut;
b.
jalan tol;
c.
kolam renang;
d.
pagar mewah;
e.
tempat olah raga;
f.
galangan kapal,
dermaga;
g.
taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i.
menara.
Pasal 58
Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah objek pajak yang:
a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan Pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan atas
perlakuan timbal balik; dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 59
(1) Setiap orang pribadi dan badan yang memiliki, menguasai atau memperoleh
manfaat atas tanah dan/atau bangunan wajib mendaftarkan objek pajaknya tersebut
ke Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah.
(2) Dalam hal orang pribadi dan badan yang memiliki, menguasai atau memperoleh
manfaat atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak
mendaftarkan objek pajaknya maka akan dilakukan pendataan oleh Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah.
Pasal 60
(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi
atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh
manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat
atas bangunan.
(2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi
dan badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh
manfaat atas bangunan.
(3) Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah atas nama ...........................
dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) sebagai wajib
pajak.
(4) Subjek Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
memberikan keterangan secara tertulis kepada ..................... melalui Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah bahwa Subjek Pajak tersebut
bukan Wajib Pajak terhadap objek pajak dimaksud.
(5) Bila Keterangan yang diajukan oleh
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disetujui, maka Kepala Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah atas nama ......................
dapat membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keterangan
dimaksud.
(6) Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Kepala Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah atas nama ...........................
mengeluarkan Surat Keputusan Penolakan dengan disertai alasan-alasanya.
(7) Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah atas nama ....................... tidak memberikan
keputusan maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.
Bagian Ketiga
Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak, Dasar Pengenaan Pajak,
Besaran Tarif, dan Cara Perhitungan Tarif
Pasal 61
Besarnya
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
Pasal 62
(1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah
NJOP.
(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga)
tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai
dengan perkembangan wilayahnya.
(3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh .............
Pasal 63
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
Pasal 64
Besarnya pokok Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Tidak Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61.
Bagian Keempat
Pendataan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan
Pasal 65
(1)
Dalam rangka pendataan, Wajib Pajak Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan harus mendaftarkan objek pajaknya.
(2)
Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP.
(3)
SPOP, sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan
disampaikan kepada Kepala Daerah melalui
kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah yang wilayah
kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak.
Pasal 66
Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran
objek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih
lanjut oleh ................
Pasal 67
(1)
Berdasarkan SPOP, Bupati menerbitkan Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
(2)
Bupati dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal
sebagai berikut:
a.
SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (3) tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh
Bupati sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
b.
Berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain tenyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah
pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
BAB
XII
BEA PEROLEHAN HAK
ATAS TANAH DAN BANGUNAN
Bagian Pertama
Ketentuan Khusus
Pasal 68
(1) Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan.
(2) Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
(3) Hak
atas Tanah dan Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang
pertanahan dan bangunan.
Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek,
dan Wajib Pajak
Pasal 69
(1) Dengan nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan dipungut pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(2) Objek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(3)
Perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroaan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemeliharaan usaha; dan
13. hadiah.
b. Pemberian hak baru meliputi :
1. kelanjutan pelepasan; atau
2. di luar pelepasan hak.
(4)
Hak atas tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(5)
Objek pajak yang tidak
dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang
diperoleh:
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik;
b. negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kegiatan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang diterapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi
tersebut;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum
lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Pasal 70
(1) Subjek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh hak atas dan/atau bangunan.
(2) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
Bagian Ketiga
Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak,
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif
Pasal 71
(1)
Besarnya Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(2)
Dalam hal perolehan hak karena warisan atau
hibah yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah
dengan pemberi hadiah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 72
(1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak.
(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai ketentuan
hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
nilai pasar;
j. pemberian nilai baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam
risalah lelang.
(3) Jika nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan,
dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.Subjek Pajak
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas dan/atau bangunan.
Pasal 73
Tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan ditetapkan sebesar 5% (lima
persen).
Pasal 74
Besaran pokok Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 73 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71.
Bagian Keempat
Saat
Terutang Pajak dan Pelaporan Objek Pajak
Pasal 75
(1)
Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan ditetapkan untuk:
a.
jual beli adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
b.
tukar menukar adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c.
hibah adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
d.
hibah wasiat adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
e.
waris adalah sejak tanggal yang
bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertahanan;
f.
pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lainya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g.
pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan adalah sejak tangal dibuat dan ditandatanganinya akta;
h.
putusan hakim adalah sejak
tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
i.
pemberian hak bangunan atas
tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitnya
surat keputusan pemberian hak;
j.
pemberian hak bangunan diluar
pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkanya surat keputusan pemberian hak;
k.
penggabungan usaha adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
l.
peleburan usaha adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m.
pemekaran usaha adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n.
hadiah adalah sejak tanggal
dibuat dan di tanda tanganinya akta; dan
o.
lelang adalah sejak tanggal
penunjukan pemenang lelang.
(2)
Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat
terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 76
Pejabat pembuat akta tanah/notaris
hanya dapat menandatangani akta
pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
Pasal 77
Kepala kantor yang membidangi
pelayanan lelang Negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak
atas tanah dan/atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak.
Pasal 78
Kepala kantor bidang pertanahan hanya
dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran penulisan hak atas
tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
Pasal 79
(1)
Pejabat pembuat akta tanah/notaris dan
kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara meleporkan pembuatan akta
atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2)
Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan ............
Pasal 78
(1)
Pejabat pembuat akta tanah/notaris dan
kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara, yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dan 77 dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk
setiap pelanggaran.
(2)
Pejabat pembuat akta tanah/notaris dan
kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara, yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk
setiap laporan.
(3)
Kepala kantor bidang pertahanan yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
BAB XIII
PEMUNGUTAN PAJAK
Bagian Kesatu
Wilayah Pemungutan,
Masa Pajak, dan Tahun Pajak
Pasal 79
(1) Pajak yang
terutang dipungut di wilayah ........................
(2)
Masa Pajak untuk Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral
Non Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan Pajak Sarang Burung
Walet adalah jangka waktu 1 (satu) bulan takwim.
(3)
Tahun Pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
Bagian Kesatu
Pendaftaran dan
Pendataan Wajib Pajak
Pasal 80
(1)
Untuk mengetahui jumlah potensi pajak, Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah melakukan pendaftaran dan
pendataan jumlah Wajib Pajak.
(2)
Pendaftaran dan pendataan jumlah Wajib Pajak
dilakukan untuk objek Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak
Parkir, Pajak Air Tanah, dan Pajak
Sarang Burung Walet.
(3)
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah kegiatan mendaftarkan sendiri objek pajak oleh Wajib Pajak yang
belum memiliki nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) ke Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dengan mengisi formulir pendaftaran.
(4)
Berdasarkan formulir pendaftaran, Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah menerbitkan NPWPD kepada Wajib Pajak dan
dicatat dalam daftar induk Wajib Pajak sesuai dengan jenis objek pajak.
(5)
Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah kegiatan pendataan Wajib Pajak baru maupun Wajib Pajak yang telah
memiliki NPWPD.
Bagian Kedua
Tata Cara Penetapan
dan Pemungutan Pajak
Pasal 81
(1)
Pemungutan pajak dilarang diborongkan.
(2)
Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang
terutang berdasarkan penetapan Kepala
Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(3)
Jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah meliputi Pajak Air Tanah,
Pajak Reklame, dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
(4)
Jenis pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan,
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Sarang Burung Walet,
dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(5)
Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan
berdasarkan penetapan Kepala Daerah
dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(6)
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berupa karcis dan nota perhitungan.
(7)
Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan
sendiri dibayar dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
Pasal 82
(1)
Dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati dapat menerbitkan:
a.
SKPDKB dalam hal:
1) jika
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar;
2) jika
SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana
ditentukan dalam surat
teguran;
3) jika
kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara
jabatan.
b.
SKPDKBT jika ditemukan
data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terutang.
c.
SKPDN jika jumlah
pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2)
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak
yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(3)
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif
berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
(4) Kenaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak
melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah
pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak
ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
Pasal 83
(1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB,
dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 diatur dengan Peraturan …….
(2)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen
lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83 diatur dengan Peraturan ……...
Pasal 84
(1) Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD jika:
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan
pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan
sejak saat terutangnya pajak.
(3)
SKPD
yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.
BAB XIV
PEMBAYARAN DAN
PENAGIHAN PAJAK
Bagian Kesatu
Tata Cara Pembayaran
Pasal 85
(1)
Bupati
menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
(2)
Pembayaran
pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh Kepala Daerah sesuai waktu yang
ditentukan dalam SPPT, SPPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD.
(3)
Apabila
pembayaran pajak dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, hasil penerimaan pajak
harus disetor ke Kas Daerah selambat-lambatnya 1 x 24 jam atau dalam waktu yang
telah ditentukan oleh Kepala Daerah.
(4)
Wajib
Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak Daerah ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh
Kepala Daerah.
(5)
Ketentuan
mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, dan tempat pembayaran pajak ditetapkan
oleh Kepala Daerah.
Pasal 86
(1)
Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas.
(2)
Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk
menunda dan mengangsur pajak terutang pada kurun waktu tertentu, setelah
memenuhi persayaratn yang ditentukan.
(3)
Penundaan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan sampai batas waktu yang ditentukan dengan
dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan dari jumlah pajak yang belum
atau kurang bayar.
(4)
Angsuran pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara teratur dan berturut-turut dengan
dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan dari jumlah pajak yang belum
atau kurang bayar.
(5)
Persyaratan untuk menunda dan mengangsur
pembayaran serta tata cara pembayaran penundaan dan angsuran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan (4) ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Bagian Kedua
Tata Cara Penagihan
Pasal 87
(1)
SPPT,
SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak.
(2)
Surat
teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis sebagai awal
tindakan pelaksanaan penagihan pajak, dikeluarkan 7 ( tujuh ) hari sejak saat
jatuh tempo pembayaran.
(3)
Dalam
jangka waktu 7 ( tujuh ) hari setelah tanggal surat teguran atau surat
peringatan atau surat lain yang sejenis, Wajib Pajak harus melunasi pajak yang
terutang.
(4)
Surat
Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Pasal ini, dikeluarkan oleh pejabat.
Pasal 88
(1)
Apabila
jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu
sebagaimana ditetantukan dalam Surat Teguran atau Surat Peringatan maka jumlah
pajak yang harus dibayar dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2)
Pejabat
yang ditunjuk menerbitkan Surat Paksa setelah 21 (duapuluh satu) hari sejak
tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis
Pasal 89
Apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak
dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam sesudah tanggal pemberitahuan Surat
Paksa, Pejabat yang ditunjuk segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan.
Pasal 90
(1)
Setelah
dilakukan penyitaan dan Wajib Pajak belum melunasi jumlah pajak terutang
setelah lewat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Pejabat yang ditunjuk mengajukan permintaan penetapan
tanggal pelelangan kepada Kantor Lelang Negara.
(2)
Setelah
Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, jam, dna tempat pelaksanaan
lelang, Juru Sita memberitahukan dengan segera secara tertulis kepada Wajib
Pajak.
Pasal 91
Bentuk, jenis, dan isi formular yang dipergunakan untuk
pelaksanaan penagihan pajak daerah ditetapkan dengan Keputusan ……….
BAB XV
PEMBETULAN,
PEMBATALAN,
PENGURANGAN
KETETAPAN PAJAK DAN PENGHAPUSAN
ATAU
PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 92
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, …………
dapat:
a. membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN
atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
b. mengurangkan atau menghapuskan
sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang
menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi
tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya;
c. mengurangkan atau membatalkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
d. mengurangkan atau membatalkan STPD;
e. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau
diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
f. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan
membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan,
pembatalan, pengurangan ketetapan pajak dan penghapusan atau pengurangan sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan ………..
BAB XVI
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 93
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada ………….
atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a. SKPD;
b. SKPDKB;
c. SKPDKBT;
d. SKPDLB;
e. SKPDN; dan
f.
Pemotongan atau
pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan
bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah
membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
(5) Keberatan
yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai
Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh ..........
atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat
pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Pasal 94
(1) .......... dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan ............. atas keberatan dapat berupa
menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang
terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah lewat dan .......... tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 95
(1)
Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh ……………….
(2)
Permohonan
banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan
tersebut.
(3)
Pengajuan
permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Pasal 96
(1)
Jika
pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan.
(2)
Imbalan
bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai
dengan diterbitkannya SKPDLB.
(3)
Dalam
hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (limapuluh persen) dari jumlah
pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
(4)
Dalam
hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa
denda sebesar 50% (limapuluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
dikenakan.
(5)
Dalam
hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
BAB XVII
PENGEMBALIAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 97
(1) Atas
kelebihan pembayaran Pajak,
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada ......... atau
Pejabat yang ditunjuk secara tertulis dengan menyebutkan sekurang-kurangnya:
a. Nama
dan alamat Wajib Pajak;
b. Masa
Pajak;
c. Besarnya
kelebihan pembayaran pajak;
d. Alasan
yang jelas.
(2) .........
dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus memberikan keputusan.
(3) Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan ...........
tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau
Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila
Wajib Pajak mempunyai utang Pajak lainnya, kelebihan pembayaran Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi
terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
(5) Pengembalian
kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(6) Jika
pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, .............
memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan
pembayaran kelebihan pembayaran Pajak.
(7) Tata
cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan .............
BAB XVIII
KEDALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 98
(1) Hak
untuk melakukan penagihan Pajak
menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat
terutangnya Pajak,
kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
daerah.
(2)
Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a.
diterbitkan Surat
Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b.
ada pengakuan utang
pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
(3)
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan
Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan
dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
(4) Pengakuan
utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah
Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan
belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan
utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat
diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan
permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Pasal 99
(1)
Piutang
Pajak dan/atau Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2)
Keputusan
Penghapusan Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Bupati.
(3)
Tata
cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XIX
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 100
(1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan.
(2) Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan
atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan ......
Pasal 101
(1) Bupati berwenang
melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah
dan Retribusi.
(2)
Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a.
memperlihatkan dan/atau
meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain
yang berhubungan dengan objek Pajak yang terutang;
b.
memberikan kesempatan
untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan
guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c.
memberikan keterangan
yang diperlukan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan
Pajak diatur dengan Peraturan ..............
BAB XX
INSENTIF
PEMUNGUTAN
Pasal 102
(1)
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dapat diberi insentif
atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2)
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3)
Tata cara
pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XXI
KETENTUAN
KHUSUS
Pasal 103
(1)
Setiap pejabat dilarang
memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau
diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya
untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2)
Larangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh ...........
untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a.
Pejabat dan tenaga ahli
yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
b.
Pejabat dan/atau tenaga
ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat
lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan
dalam bidang keuangan daerah.
(4)
Untuk kepentingan Daerah, ............... berwenang
memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan
keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada
pihak yang ditunjuk.
(5)
Untuk kepentingan
pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan
hakim sesuai dengan Hukum Acara
Pidana dan Hukum Acara Perdata, Bupati dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan
memperlihatkan bukti tertulis dan
keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat,
keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan
keterangan yang diminta.
BAB XXII
PENYIDIKAN
Pasal 104
(1)
Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus
sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2)
Penyidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Wewenang Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
menerima, mencari,
mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana
di bidang perpajakan Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih
lengkap dan jelas;
b.
meneliti, mencari,
dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran
perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;
c.
meminta keterangan
dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana
di bidang perpajakan Daerah;
d.
memeriksa buku,
catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan
Daerah;
e.
melakukan
penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen
lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f.
meminta bantuan
tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan Daerah;
g.
menyuruh berhenti
dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau
dokumen yang dibawa;
h.
memotret seseorang
yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;
i.
memanggil
orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j.
menghentikan
penyidikan; dan/atau
k.
melakukan tindakan lain
yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XXIII
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 105
(1)
Wajib
Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga merugikan keuangan Daerah dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Wajib
Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak
benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
merugikan keuangan Daerah dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar.
Pasal 106
Tindak pidana
di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5
(lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau
berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 107
(1)
Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati
yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat
juta rupiah).
(2) Pejabat atau
tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban
pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) dan ayat
(2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2
(dua) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3) Penuntutan
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
(4) Tuntutan pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan
sifatnya
adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib Pajak,
karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Pasal 108
(1)
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dan Pasal 107 ayat (1) dan (2) merupakan
penerimaan negara.
(2)
Pengembalian kelebihan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 ayat (6) merupakan
pembiayaan Daerah.
BAB XXIV
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal 109
(1)
Pada saat Peraturan Daerah
ini berlaku, maka semua Peraturan Daerah yang mengatur tentang pajak Daerah di
………….. dinyatakan tidak berlaku dan dihapus.
(2)
Ketentuan mengenai Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan berlaku mulai …………….
(3)
Ketentuan mengenai Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berlaku mulai 1 Januari 2011.
BAB XXV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 110
Hal-hal yang belum
diatur dalam Peraturan Daerah ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan ........
Pasal 111
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Batanghari.
Disahkan di ..........................
pada tanggal ............................
.............................
......,
ttd
.......................................................
Diundangkan di ...........................
pada tanggal .........................................
SEKRETARIS
DAERAH,
ttd
................................
|
|
LEMBARAN DAERAH ....................................
TAHUN ......... NOMOR ........