Jumat, 05 Oktober 2012

SOP atau PERBUP/PERWAKO PBB P2


Beberapa peraturan pendukung yang perlu direplikasi antara lain:
  1. Klasifikasi NJOP (Klas tanah dan bangunan): KMK-523/KMK.04/1998 jo PMK-150/PMK.03/2010,
  2. Tata cara pendaftaran, pendataan dan penilaian objek dan subjek pajak PBB P2: KEP-533/PJ/2000 jo KEP-115/PJ/2002,
  3. Tata cara penerbitan SPPT: PER-34/PJ/2008,
  4. Tata cara pengajuan keberatan: PER-25/PJ/2009 jo PER-16/PJ/2010,
  5. Tata cara pengajuan banding: KEP-635/PJ/2001,
  6. Tata cara pengurangan: PMK-110/PMK.03/2009 jp PER-46/PJ/2009,
  7. Tata cara pengurangan sanksi administrasi: PER-6/PJ/2008 jo PER-18/PJ/2010,
  8. Tata cara pembatalan SPPT, SKP, STP PBB yang tidak benar: PER-56/PJ/2009 jo PER-17/PJ/2010 dan PMK-111/PMK.03/2009,
  9. Tata cara penagihan dengan surat paksa dan pelaksanaan penagihan seketika sekaligus: PMK24/PMK.03/2008 jo PMK-85/PMK.03/2010,
  10. Tata cara pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan utk kepentingan penagihan: KEP-563/KMK.04/2000,
  11. Tata cara penghapusan piutang pajak: KMK-335/KMK.04/1996, KEP-45/PJ.6/1996 jo KEP-13/PJ.6/1999, KMK-505/KMK.04/2000 jo KMK-539/KMK03/2002,
  12. Tata cara penerbitan STP dan penagihan PBB P2: KEP-503/PJ/2000,
  13. Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran PBB P2: PMK-05/PMK.03/2005 jo PMK-66/PMK.03/2005, SKB KEP-26/A/51/0591 dan KEP-752/PJ.6/1991 ,
  14. Tata cara pembayaran, penyetoran, angsuran dan penundaan pembayaran pajak: KEP-47/PJ/2003, PER-58/ PJ/2009,
  15. Tata cara pembetulan dan pembatalan: PER-37/PJ/2008,
  16. Tata cara pelayanan PBB P2: SE-19/PJ6/1994.

IT SISMIOP PBB P2


Kebutuhan Sarana dan Prasarana Teknologi Informasi
Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan

A.      Hardware
         Server
(Spesifikasi : Processor Intel Xeon; Hardisk 4 slot @ min 70 GB; RAM 4 GB; Ethernet) (miniman 2 server)
         Personal Computer (PC) (2 pelayanan, 4 input data, 2 server, 2 update data)
         Network
         High Speed Printer (Printronik datascrip/Astragraphia minimal 2 buah)
         Printer (laser jet)
         Scanner (hp)
         Plotter (canon)
         Alat ukur (GPS / Theodolit / Altimeter / Meteran Ukur)
         Foto Digital (2 Pocket)
Spesifikasi Perangkat IT Pengelola PBB-P2
         Server Basisdata
         Windows Server Enterprise 2008 R2 OLP NL Gov
         Oracle Database 10g Standar/Enterprise
         Server Aplikasi SISMIOP
         WinServ Ent 2003/ 2008 R2 GOLP
         Oracle Developer Form & Report 6i
         Server Aplikasi SIG
         Minimal Win XP SP2
         MapInfo versi 8 atau yang terbaru
         Personal Computer (PC)
         OS Windows XP SP2 sudah include di hardware (OEM* : Original Equipment Manufacturer), produk dalam satu paket dari produsen)
Office Application
  1. Software
         Operating System (OS)
         Database
         Pemetaan (MapInfo)
         Runtime Aplikasi
          Diserahkan KP DJP
          Aplikasi SISMIOP
         Aplikasi SIG
         Data SISMIOP
         Data Peta
         User Manual
  1. Data
         Data SISMIOP
         Data Peta
  1. Dokumentasi
         User manual

Selasa, 18 September 2012

contoh PERDA PBB dan BPHTB


PERATURAN DAERAH .........................

NOMOR        TAHUN
                                                         TENTANG
PAJAK DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.      bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab di ........................, perlu dilakukan penyesuaian dan pengaturan kembali Pajak-Pajak Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b.     bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur kembali mengenai pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah serta memungkinkan untuk menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah;

c.      bahwa untuk melaksanakan penyesuaian sebagaimana huruf b, perlu pengaturan kembali tentang Pajak-Pajak Daerah .................. dengan suatu Peraturan Daerah .........................
Mengingat :
a.      Undang-Undang Nomor ................... tentang Pembentukan Daerah .....................................................

b.     Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

c.      Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 40 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3684);

d.      Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686);

e.      Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

f.       Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

g.      Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

h.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

i.       Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

j.       PP tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah

k.    PP tentang Insentif Pajak

l.      ...................

m.  ....................

n.    ......................

o.    .......................



Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ……………………………..
dan
………………………..
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH.



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1.        Daerah adalah ....................................
2.        Pemerintah Daerah adalah Pemerintah ..............................
3.        Bupati/Walikota adalah ..............................
4.        Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah adalah Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah ....................
5.        Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah adalah Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah ..................................
6.        Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu ..................................
7.        Kas Daerah adalah Kas Daerah ...............................
8.        Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Massa, Organisasi Sosial Politik atau Organisasi yang sejenis, Lembaga, Badan Usaha Tetap dan Bentuk Badan Lainnya.
9.        Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di Bidang Perpajakan Daerah sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
10.     Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
11.     Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
12.     Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
13.     Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
14.     Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
15.     Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
16.     Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
17.     Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
18.     Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
19.     Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
20.     Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat  SPOP, adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan sesuai denagn ketentuan Peraturan Perundang – undangan Perpajakan Daerah.
21.     Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
22.     Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
23.     Surat Pamberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahuan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan yang terutang kepada wajib pajak.
24.     Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
25.     Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
26.     Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
27.     Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
28.     Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
29.     Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
30.     Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
31.     Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
32.     Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
33.     Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
34.     Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya.



BAB II
PAJAK HOTEL

Bagian Pertama
Ketentuan Khusus

Pasal 2
(1)      Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
(2)      Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).

Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak

Pasal 3
(1)      Dengan nama Pajak Hotel dipungut pajak atas setiap pelayanan hotel.
(2)      Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.
(3)      Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel.
(4)      Tidak termasuk objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.     jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
b.     jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c.     jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d.     jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e.     jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.

Pasal 4
(1)      Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.
(2)      Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif

Pasal 5
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel.

Pasal 6
Tarif Pajak Hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 7
Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.



BAB III
PAJAK RESTORAN

Bagian Pertama
Ketentuan Khusus

Pasal 8
(1)      Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
(2)      Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.

Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak

Pasal 9
(1)      Dengan nama Pajak Restoran dipungut pajak atas setiap pelayanan restoran. 
(2)      Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran.
(3)      Pelayanan yang disediakan Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain.
(4)      Tidak termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi Rp............. /tahun atau Rp............./ bulan.

Pasal 10
(1)      Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran.
(2)      Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif

Pasal 11
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran.

Pasal 12
Tarif Pajak Restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

Pasal 13
Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.



BAB IV
PAJAK HIBURAN

Bagian Pertama
Ketentuan Khusus

Pasal 14
(1)      Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
(2)      Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.

Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak

Pasal 15
(1)      Dengan nama Pajak Hiburan dipungut pajak atas setiap penyelenggaran hiburan.
(2)      Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran.
(3)      Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.     tontonan film;
b.     pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c.     kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d.     pameran;
e.     diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f.      sirkus, akrobat, dan sulap;
g.     permainan bilyar, golf, dan boling;
h.     pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i.       panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan
j.      pertandingan olahraga.

Pasal 16
(1)      Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan.
(2)      Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Hiburan.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif

Pasal 17
(1)      Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan.
(2)      Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan.

Pasal 18
(1)      Tarif Pajak Hiburan untuk jenis pertunjukan dan keramaian umum yang menggunakan sarana film di bioskop ditetapkan sebagai berikut:
a.     Golongan AI sebesar 35% (tiga puluh lima persen);
b.     Golongan AII sebesar 35% (tiga puluh lima persen);
c.     Golongan AIII sebesar 25% (dua puluh lima persen);
d.     Golongan B sebesar 20% (dua pulh persen);
e.     Golongan C sebesar 15% (lima belas persen);
f.      Golongan D sebesar 10% (sepuluh persen);
g.     Jenis keliling sebesar 5% (lima persen).
(2)      Tarif Pajak Hiburan khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
(3)      Tarif Pajak Hiburan khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

Pasal 19
Besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).




BAB V
PAJAK REKLAME

Bagian Pertama
Ketentuan Khusus

Pasal 20
(1)      Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
(2)      Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.

Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak

Pasal 21
(1)      Dengan nama Pajak Reklame dipungut pajak atas setiap penyelenggaran reklame.
(2)      Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(3)      Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.     Reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya;
b.     Reklame kain;
c.     Reklame melekat, stiker;
d.     Reklame selebaran;
e.     Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f.      Reklame udara;
g.     Reklame apung;
h.     Reklame suara;
i.       Reklame film/slide; dan
j.      Reklame peragaan.
(4)      Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah:
a.     penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b.     label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c.     nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d.     Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Pasal 22
(1)      Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
(2)      Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
(3)      Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau Badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut.
(4)      Dalam hal Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif

Pasal 23
(1)      Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
(2)      Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3)      Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
(4)      Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)      Hasil perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan ....................

Pasal 24
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebagai berikut:
a.    Reklame papan/billboard/micoframe/megatron dan sejenisnya ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
b.    Reklame lain ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
c.    Reklame melekat (stiker) ditetapkan sebesar 5% (lima persen);
d.    Reklame selebaran ditetapkan sebesar 5% (lima persen);
e.    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen);
f.     Reklame udara ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen);
g.    Reklame suara ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen);
h.    Reklame film/slide ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen);
i.      Reklame peragaan ditetapkan sebesar 15%  (lima belas persen).

Pasal 25
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5).



BAB VI
PAJAK PENERANGAN JALAN

Bagian Pertama
Ketentuan Khusus

Pasal 26
Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.

Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak

Pasal 27
(1)      Dengan nama Pajak Penerangan Jalan dipungut pajak atas penggunaan tenaga listrik.
(2)      Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
(3)      Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh pembangkit listrik.
(4)      Listrik yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah PLN dan penyedia tenaga listrik lainnya.
(5)      Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.     penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b.     penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing dengan asas timbal balik;
c.     penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.

Pasal 28
(1)      Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat menggunakan tenaga listrik.
(2)      Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan tenaga listrik.
(3)      Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif

Pasal 29
(1)      Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.
(2)      Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:
a.     dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;
b.     dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah ...........................
(3)      Harga satuan Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh ........... dengan berpedoman harga satuan listrik yang berlaku.

Pasal 30
(1)      Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2)      Tarif Pajak Penerangan Jalan untuk penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen).
(3)      Tarif Pajak Penerangan Jalan untuk penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).

Pasal 31
(1)      Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
(2)      Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.



BAB VII
PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

Bagian Pertama
Ketentuan Khusus

Pasal 32
(1)      Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
(2)      Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.

Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak

Pasal 33
(1)      Dengan nama Pajak Mineral Bukan Logam dan batuan dipungut pajak atas setiap kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan.
(2)      Objek Pajak Mineral Dengan nama Pajak Mineral Bukan Logam dan batuan dipungut pajak atas setiap kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan.dan Batuan adalah kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang meliputi:
a.          asbes;
b.      batu tulis;
c.      batu setengah permata;
d.      batu kapur;
e.      batu apung;
f.       batu permata;
g.      bentonit;
h.      dolomit;
i.        feldspar;
j.       garam batu (halite);
k.      grafit;
l.        granit/andesit;
m.    gips;
n.      kalsit;
o.      kaolin;
p.      leusit;
q.      magnesit;
r.       mika;
s.      marmer;
t.       nitrat;
u.      opsidien;
v.      oker;
w.     pasir dan kerikil;
x.      pasir kuarsa;
y.      perlit;
z.      phospat;
aa.  talk;
bb.  tanah serap (fullers earth);
cc.    tanah diatome;
dd.  tanah liat;
ee.  tawas (alum);
ff.     tras;
gg.  yarosif;
hh.  zeolit;
ii.       basal;
jj.      trakkit; dan
kk. Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya sesuai dengan ketentuan  
      peraturan perundang-undangan.
(3)      Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.     kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas;
b.     kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial.

Pasal 34
(1)      Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(2)      Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif

Pasal 35
(1)      Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(2)      Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(3)      Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada masing-masing jenis Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan secara periodic berdasarkan Keputusan ................. sesuai dengan harga rata-rata yang berlaku pada lokasi setempat.

Pasal 36
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).

Pasal 37
Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1).




                        









BAB VIII
PAJAK PARKIR

Bagian Pertama
Ketentuan Khusus

Pasal 38
(1)      Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
(2)      Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.

Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak

Pasal 39
(1)      Dengan nama Pajak Parkir dipungut pajak atas penyelenggaraan tempat parkir.
(2)      Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
(3)      Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.        penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b.        penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
c.        penyelenggaraan tempat parkir oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.

Pasal 40
(1)      Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir kendaraan bermotor.
(2)      Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan tempat parkir.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif

Pasal 41
(1)      Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir.
(2)      Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga parkir dan parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa parkir.

Pasal 42
Tarif Pajak Parkir ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen).
Pasal 43
Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
 
BAB IX
PAJAK AIR TANAH

Bagian Pertama
Ketentuan Khusus

Pasal 44
(1)      Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2)      Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.

Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak

Pasal 45
(1)      Dengan nama Pajak Air Tanah dipungut pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2)      Objek  Pajak  Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(3)      Tidak termasuk objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan.

Pasal 46
(1)      Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2)      Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif

Pasal 47
(1)      Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah.
(2)      Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut:
a.        jenis sumber air;
b.        lokasi sumber air;
c.        tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d.        volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e.        kualitas air; dan
f.         tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(3)      Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan ………………….

Pasal 48
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).

Pasal 49
Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.

BAB X
PAJAK SARANG BURUNG WALET

Bagian Pertama
Ketentuan Khusus

Pasal 50
(1)      Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
(2)      Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.

Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak

Pasal 51
(1)      Dengan nama Pajak Sarang Burung Walet dipungut pajak atas pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
(2)      Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
(3)      Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Pasal 52
(1)      Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
(2)      Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif

Pasal 53
(1)      Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung Walet.
(2)      Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet dengan volume Sarang Burung Walet.

Pasal 54
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

Pasal 55
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana di maksud dalam Pasal 54 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.

BAB XI
PAJAK BUMI DAN BANGUNGAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

Bagian Pertama
Ketentuan Khusus

Pasal 56
(1)      Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambagan.
(2)      Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota.
(3)      Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.

Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak

Pasal 57
(1)      Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dipungut pajak atas kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan bumi dan/atau bangunan.
(2)      Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan/atau pertambangan.
(3)      Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
a.    jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
b.    jalan tol;
c.    kolam renang;
d.    pagar mewah;
e.    tempat olah raga;
f.     galangan kapal, dermaga;
g.    taman mewah;
h.    tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i.      menara.

Pasal 58
Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang:
a.    digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan Pemerintahan;
b.    digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh  keuntungan;
c.    digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
d.    merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e.    digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik; dan
f.      digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.


Pasal 59
(1)      Setiap orang pribadi dan badan yang memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat atas tanah dan/atau bangunan wajib mendaftarkan objek pajaknya tersebut ke Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah.
(2)      Dalam hal orang pribadi dan badan yang memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak mendaftarkan objek pajaknya maka akan dilakukan pendataan oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah.

Pasal 60
(1)      Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
(2)      Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi dan badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
(3)      Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah atas nama ........................... dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) sebagai wajib pajak.
(4)      Subjek Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada ..................... melalui Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah bahwa Subjek Pajak tersebut bukan Wajib Pajak terhadap objek pajak dimaksud.
(5)      Bila Keterangan yang diajukan oleh  Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disetujui, maka Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah atas nama ...................... dapat membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.
(6)      Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah atas nama ........................... mengeluarkan Surat Keputusan Penolakan dengan disertai alasan-alasanya.
(7)      Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah atas nama ....................... tidak memberikan keputusan maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.

Bagian Ketiga
Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak, Dasar Pengenaan Pajak,
Besaran Tarif, dan Cara Perhitungan Tarif

Pasal 61
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

Pasal 62
(1)      Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP.
(2)      Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan  perkembangan wilayahnya.
(3)      Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh .............
Pasal 63
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).

Pasal 64
Besarnya pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61.

Bagian Keempat
Pendataan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan

Pasal 65

(1)      Dalam rangka pendataan, Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan harus mendaftarkan objek pajaknya.
(2)      Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP.
(3)      SPOP, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala Daerah melalui kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak.
Pasal 66
Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran objek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh ................

Pasal 67
(1)      Berdasarkan SPOP, Bupati menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
(2)      Bupati dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai berikut:
a.    SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Bupati sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
b.     Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tenyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
BAB XII
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Bagian Pertama
Ketentuan Khusus

Pasal 68
(1)      Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(2)      Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
(3)      Hak atas Tanah dan Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.

Bagian Kedua
Nama, Objek, Subjek, dan Wajib Pajak

Pasal 69
(1)      Dengan nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dipungut pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(2)      Objek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(3)      Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    pemindahan hak karena:
1.    jual beli;
2.    tukar menukar;
3.    hibah;
4.    hibah wasiat;
5.    waris;
6.    pemasukan dalam perseroaan atau badan hukum lain;
7.    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8.    penunjukan pembeli dalam lelang;
9.    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemeliharaan usaha; dan
13. hadiah.
b.    Pemberian hak baru meliputi :
1.    kelanjutan pelepasan; atau
2.    di luar pelepasan hak.
(4)      Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.    hak milik;
b.    hak guna usaha;
c.    hak guna bangunan;
d.    hak pakai;
e.    hak milik atas satuan rumah susun; dan
f.     hak pengelolaan.
(5)      Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:
a.    perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik;
b.    negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kegiatan umum;
c.    badan atau perwakilan lembaga internasional yang diterapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d.    orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e.    orang pribadi atau badan karena wakaf; dan
f.     orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Pasal 70
(1)      Subjek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas dan/atau bangunan.
(2)      Wajib Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.

Bagian Ketiga
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak,
Dasar Pengenaan Pajak, Besaran Tarif,
dan Cara Perhitungan Tarif

Pasal 71
(1)      Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(2)      Dalam hal perolehan hak karena warisan atau hibah yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hadiah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 72
(1)      Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
(2)      Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
a.    jual beli adalah harga transaksi;
b.    tukar menukar adalah nilai pasar;
c.    hibah adalah nilai pasar;
d.    hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.    waris adalah nilai pasar;
f.     pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h.    peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai ketentuan hukum tetap adalah nilai pasar;
i.      pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j.     pemberian nilai baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k.    penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l.      peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.  pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n.    hadiah adalah nilai pasar; dan
o.    penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
(3)      Jika nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.Subjek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas dan/atau bangunan.

Pasal 73
Tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5% (lima  persen).

Pasal 74
Besaran pokok Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72  setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71.

Bagian Keempat
Saat Terutang Pajak dan Pelaporan Objek Pajak

Pasal 75
(1)      Saat terutangnya  pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk:
a.    jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b.    tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c.    hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d.    hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
e.    waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertahanan;
f.     pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g.    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tangal dibuat dan ditandatanganinya akta;
h.    putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
i.      pemberian hak bangunan atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitnya surat keputusan pemberian hak;
j.     pemberian hak bangunan diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkanya surat keputusan pemberian hak;
k.    penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
l.      peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m.  pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n.    hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan di tanda tanganinya akta; dan
o.    lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
(2)       Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 76
Pejabat pembuat akta tanah/notaris hanya dapat menandatangani akta  pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Pasal 77
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Pasal 78
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran penulisan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Pasal 79
(1)      Pejabat pembuat akta tanah/notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara meleporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2)       Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan ............

Pasal 78
(1)      Pejabat pembuat akta tanah/notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dan 77 dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2)      Pejabat pembuat akta tanah/notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(3)      Kepala kantor bidang pertahanan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

BAB XIII
PEMUNGUTAN PAJAK

Bagian Kesatu
Wilayah Pemungutan, Masa Pajak, dan Tahun Pajak

Pasal 79
(1)      Pajak yang terutang dipungut di wilayah ........................
(2)      Masa Pajak untuk Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Non Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan Pajak Sarang Burung Walet adalah jangka waktu 1 (satu) bulan takwim.
(3)      Tahun Pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.

Bagian Kesatu
Pendaftaran dan Pendataan Wajib Pajak

Pasal 80
(1)      Untuk mengetahui jumlah potensi pajak, Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah melakukan pendaftaran dan pendataan jumlah Wajib Pajak.
(2)      Pendaftaran dan pendataan jumlah Wajib Pajak dilakukan untuk objek Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan  Pajak Sarang Burung Walet.
(3)      Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kegiatan mendaftarkan sendiri objek pajak oleh Wajib Pajak yang belum memiliki nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) ke Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dengan mengisi formulir pendaftaran.
(4)      Berdasarkan formulir pendaftaran, Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah menerbitkan NPWPD kepada Wajib Pajak dan dicatat dalam daftar induk Wajib Pajak sesuai dengan jenis objek pajak.
(5)      Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kegiatan pendataan Wajib Pajak baru maupun Wajib Pajak yang telah memiliki NPWPD.

Bagian Kedua
Tata Cara Penetapan dan Pemungutan Pajak

Pasal 81
(1)      Pemungutan pajak dilarang diborongkan.
(2)      Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3)      Jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah meliputi Pajak Air Tanah, Pajak Reklame, dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
(4)      Jenis pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Sarang Burung Walet, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(5)      Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(6)      Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa karcis dan nota perhitungan.
(7)      Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.

Pasal 82
(1)      Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati dapat menerbitkan:
a.        SKPDKB dalam hal:
1)    jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2)    jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
3)    jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
b.        SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
c.        SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2)      Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(3)      Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(4)      Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5)      Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

Pasal 83
(1)      Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 diatur dengan Peraturan …….
(2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diatur dengan Peraturan ……...

Pasal 84
(1)      Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD jika:
a.    pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b.    dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c.    Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2)      Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3)      SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.

BAB XIV
PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN PAJAK

Bagian Kesatu
Tata Cara Pembayaran

Pasal 85
(1)      Bupati menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
(2)      Pembayaran pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh Kepala Daerah sesuai waktu yang ditentukan dalam SPPT, SPPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD.
(3)      Apabila pembayaran pajak dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, hasil penerimaan pajak harus disetor ke Kas Daerah selambat-lambatnya 1 x 24 jam atau dalam waktu yang telah ditentukan oleh Kepala Daerah.
(4)      Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
(5)      Ketentuan mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, dan tempat pembayaran pajak ditetapkan oleh Kepala Daerah.

Pasal 86
(1)         Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas.
(2)         Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk menunda dan mengangsur pajak terutang pada kurun waktu tertentu, setelah memenuhi persayaratn yang ditentukan.
(3)        Penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sampai batas waktu yang ditentukan dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang bayar.
(4)        Angsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara teratur dan berturut-turut dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang bayar.
(5)        Persyaratan untuk menunda dan mengangsur pembayaran serta tata cara pembayaran penundaan dan angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) ditetapkan oleh Kepala Daerah.

Bagian Kedua
Tata Cara Penagihan

Pasal 87

(1)      SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak.
(2)      Surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak, dikeluarkan 7 ( tujuh ) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran.
(3)      Dalam jangka waktu 7 ( tujuh ) hari setelah tanggal surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis, Wajib Pajak harus melunasi pajak yang terutang.
(4)      Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, dikeluarkan oleh pejabat.

Pasal 88
(1)      Apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditetantukan dalam Surat Teguran atau Surat Peringatan maka jumlah pajak yang harus dibayar dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2)      Pejabat yang ditunjuk menerbitkan Surat Paksa setelah 21 (duapuluh satu) hari sejak tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis

Pasal 89
Apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam sesudah tanggal pemberitahuan Surat Paksa, Pejabat yang ditunjuk segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.

Pasal 90
(1)      Setelah dilakukan penyitaan dan Wajib Pajak belum melunasi jumlah pajak terutang setelah lewat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pejabat yang ditunjuk mengajukan permintaan penetapan tanggal pelelangan kepada Kantor Lelang Negara.
(2)      Setelah Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, jam, dna tempat pelaksanaan lelang, Juru Sita memberitahukan dengan segera secara tertulis kepada Wajib Pajak.

Pasal 91
Bentuk, jenis, dan isi formular yang dipergunakan untuk pelaksanaan penagihan pajak daerah ditetapkan dengan Keputusan ……….


BAB XV
PEMBETULAN, PEMBATALAN,
PENGURANGAN KETETAPAN PAJAK DAN PENGHAPUSAN
ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 92
(1)      Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, ………… dapat:
a.    membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
b.    mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
c.    mengurangkan atau membatalkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
d.    mengurangkan atau membatalkan STPD;
e.    membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
f.     mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
(2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan pajak dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan ………..

BAB XVI
KEBERATAN DAN BANDING

Pasal 93
(1)      Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada …………. atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a.    SKPD;
b.    SKPDKB;
c.    SKPDKBT;
d.    SKPDLB;
e.    SKPDN; dan
f.     Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2)      Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3)      Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4)      Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
(5)      Keberatan  yang  tidak  memenuhi  persyaratan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(6)      Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh .......... atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.

Pasal 94
(1)      .......... dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2)      Keputusan ............. atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(3)      Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan .......... tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Pasal 95
(1)      Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh ……………….
(2)      Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.
(3)      Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Pasal 96
(1)      Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(2)      Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
(3)      Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (limapuluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(4)      Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (limapuluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.
(5)      Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

BAB XVII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN

Pasal 97
(1)      Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada ......... atau Pejabat yang ditunjuk secara tertulis dengan menyebutkan sekurang-kurangnya:
a.    Nama dan alamat Wajib Pajak;
b.    Masa Pajak;
c.    Besarnya kelebihan pembayaran pajak;
d.    Alasan yang jelas.
(2)      ......... dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
(3)      Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan ........... tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(4)      Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak lainnya, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
(5)      Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(6)      Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, ............. memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak.
(7)      Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan .............

BAB XVIII
KEDALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 98
(1)      Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
(2)      Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a.        diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b.        ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
(3)      Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
(4)      Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5)      Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Pasal 99
(1)      Piutang Pajak dan/atau Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2)      Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati.
(3)      Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.


BAB XIX
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 100
(1)      Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
(2)      Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan ......

Pasal 101
(1)      Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan Retribusi.
(2)      Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a.        memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak yang terutang;
b.        memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c.        memberikan keterangan yang diperlukan.
(3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur dengan Peraturan ..............

BAB XX
INSENTIF PEMUNGUTAN

Pasal 102
(1)      Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2)      Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3)    Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XXI
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 103
(1)      Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2)      Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh ........... untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(3)      Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a.        Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
b.        Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
(4)      Untuk kepentingan Daerah, ............... berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(5)      Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Bupati dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6)      Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

BAB XXII
PENYIDIKAN

Pasal 104
(1)      Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2)      Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)      Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.        menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b.        meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;
c.        meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
d.        memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
e.        melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f.         meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
g.        menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h.        memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;
i.          memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j.         menghentikan penyidikan; dan/atau
k.        melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)      Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan  menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


BAB XXIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 105
(1)      Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2)      Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pasal 106
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.

Pasal 107
(1)      Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1  (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(2)      Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3)      Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
(4)      Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.

Pasal 108
(1)      Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dan Pasal 107 ayat (1) dan (2) merupakan penerimaan negara.
(2)      Pengembalian kelebihan sebagaimana dimaksud pada Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 ayat (6) merupakan pembiayaan Daerah.

BAB XXIV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 109
(1)      Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, maka semua Peraturan Daerah yang mengatur tentang pajak Daerah di ………….. dinyatakan tidak berlaku dan dihapus.
(2)      Ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan berlaku mulai …………….
(3)      Ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berlaku mulai 1 Januari 2011.

BAB XXV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 110
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan ........

Pasal 111
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Batanghari.


Disahkan di ..........................
pada tanggal ............................                   
          ............................. ......,
                      ttd
.......................................................


Diundangkan di ...........................
pada tanggal .........................................             
                   SEKRETARIS DAERAH,
                                ttd
                   ................................



LEMBARAN DAERAH .................................... TAHUN ......... NOMOR ........