Selasa, 18 September 2012

Menimbang Kesiapan Pendaerahan Pajak bumi dan Bangunan

Pengesahan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 2009, sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Menandai momentum penting pemberian otonomi yang seluas-luasnya dalam bidang ekonomi dan fiskal dimana sebelumnya otonomi bidang politik telah sukses menumbuhkan iklim demokratisasi yang lebih terbuka, jujur dan adil.

Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disingkat menjadi UU PDRD ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang selama ini dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan suatu daerah, terlebih pada daerah-daerah “penghasil” yang mempunyai potensi Sumber Daya Alam yang melimpah seperti halnya Provinsi Riau.

Penerapan UU PDRD ini setidaknya mempunyai beberapa tujuan antara lain : Pertama, Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat; Kedua, Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah; Ketiga, Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi spirit dalam penyusunan UU PDRD adalah pemberian kewenangan kepada daerah dalam hal pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sehingga relaitf netral terhadap fiskal nasional dan tidak terlalu membebani rakyat; Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang; Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List) namun demikian Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.

Migrasi PBB dan BPHTB

Didalam UU PDRD teradapat beberapa materi penambahan jenis pajak daerah yang sangat potensial dalam peningkatan terhadap Pendapatan Asli Daerah setidaknya terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak provinsi. catatan penting sehubungan dengan berakunya UU tersebut ditetapkannya PBB dan BPHTB menjadi pajak daerah.

Berdasarkan UU Nomor 28 tahun 2009, pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dilakukan mulai 1 Januari 2011 sementara PBB Pedesaan dan Perkotaan efektif diberlakukan mulai 1 Januari 2014 hal ini diatur di dalam Pasal 182 UU No. 28 Tahun 2009; yang berbunyi : (1). Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri mengatur tahapan persiapan pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah dalam waktu paling lambat 31 Desember 2013; dan (2). Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri mengatur tahapan persiapan pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagai Pajak Daerah paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.

Dua jenis pajak baru yang disebutkan yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Pedesaan dan Perkotaan (P2) sementara sector Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (P3) tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). “Baru” di sini dimaksudkan adalah jenis pajak ini sebelumnya dikelola oleh pemerintah pusat, sekarang akan diberikan kepada pemerintah daerah. Walaupun ada perhitungan bagi hasil yang diterapkan, selama ini PBB dan BPHTB sebagian besar akan dkembalikan ke daerah kedaerah dengan mekanisme Bagi Hasil yang maksimal untuk daerah dengan perbandingan penerimaan dari PBB sector P2 dibagikan sebesar 64,8 % untuk daerah kota/kabupaten; 16,2 % untuk daerah provinsi, 9 % untuk biaya pungut dan 10 % untuk pemerintah pusat dimana bagian ini dibagikan kembali kepada daerah-daerah yang mencapai target penerimaan 100% dalam bentuk insentif. Insentif ini sebagai instrumen kebijakan fiskal pemerintah pusattetap menjadi penerimaan favorit karena nilainya kadang kala lebih besar dari penerimaan PBB itu sendiri. Tetapi, terminologi pajak daerah akan menjadi kabur dan prinsip otonomi daerah menjadi bias karenanya

Di Direktorat Jenderal Pajak sendiri wacana pendaerah PBB dan BPHTB telah lama menjadi isu hangat beberapa tahun terakhir sampai akhirnya terbitnya UU PDRD, sebagaimana pernah diwacanakan. Maizar Anwar [mantan Direktur PBB DJP], menulis dalam Berita Pajak No. 1651 sebagai berikut : Oleh karena itu pada tahun 2003 yang lalu sewaktu pendaerahan PBB masih merupakan wacana hampir 90% Bupati/Walikota dan beberapa Gubernur kepala daerah membuat surat tertulis kepada Menteri Keuangan menolak PBB tersebut dijadikan Pajak Daerah, karena sistem yang berlaku selama ini sesunggunya pemerintah daerah sudah nyaman dengan sistem pengelolaan PBB yang berlaku selama ini, dimana peraturan dan sistem dibuat pemerintah pusat dan pemungutan serta hasil penerimaannya sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah.

Sesuai dengan UU PDRD jenis pajak daerah PBB Perdesaan dan Perkotaan sudah masuk di Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 UU PDRD. Sedangkan BPHTB masuk di Pasal 85 sampai dengan 93 UU PDRD. Hanya saja menjadi bahan catatan penting adalah tentang kesiapan infrastruktur dan SDM Pemda dalam mengelola PBB dan BPHTB sebagaimana diamanatkan Undang-Undang.

Dalam pemberlakuan BPHTB, proses pemindahannya akan berjalan lebih mulus karena tidak banyak memerlukan keterampilan SDM dan Teknologi Informasi (TI). Namun demikian, untuk pemindahan PBB, walaupun berlaku efektif Tahun 2014, sudah seharusnya dipikirkan, terutama berkaitan dengan beberapa hal mendasar seperti ketersediaan SDM, tingkat pengetahuan, dan dukungan TI sehingga proses pemindah­an ke daerah dapat berlangsung mulus dan lancar. Proses pemindahan PBB sebagai pajak daerah haruslah dilakukan dengan proses pemindahan tersebut secara bertahap. Pemerintah dapat segera mengeluarkan aturan pelaksanaannya segera. Proses pemindahan ini mencakup dua tahapan penting: kesiapan perangkat keras yang meliputi semua peralatan pendukung, terutama komputer dan programnya dan kesiapan perangkat lunak berupa SDM dan aturan-aturan pelaksanaannya

Dalam sistem administrasi PBB saat ini dikenal dengan Sistem Informasi Manajemen Objek Pajak (Sismiop) yang merupakan otak dalam proses administrasi PBB. Di satu sisi, SDM sebagai perangkat lunak harus segera dipersiapkan. Selaian itu DJP sudah memiliki tenaga fungsional penilai, tenaga pemetaan / pengukuran, dan surveyor. Sedangkan infrastruktur yang dimiliki DJP antara lain : Basis Data objek dan subjek PBB, NJOP, data penerimaan, tunggakan, penagihan, Peta Blok, Peta ZNT, aplikasi SISMIOP, SIG, dan Bank Data Nilai Pasar Property [BDNPP].

Di kalangan DJP sendiri tersebar gossip adanya “transfer” pegawai dari DJP ke Pemda berkaitan dengan migrasi PBB & BPHTB. Apakah benar migrasi pajak pusat dibarengi dengan migrasi pegawainya? Kita tunggu saja kesepakatan Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 182 UU PDRD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar